Rabu, 29 April 2009

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN EFUSI PLEURA

Definisi
• Efusi pleura adalah suatu keadaan
dimana terdapat cairan berlebihan di
rongga pleura, dimana kondisi ini jika
dibiarkan akan membahayakan jiwa
penderitanya (John Gibson, MD, 1995,
Waspadji Sarwono (1999, 786)
• Efusi pleura adalah suatu keadaan
dimana terdapat penumpukan cairan
dari dalam kavum pleura diantara
pleura parietalis dan pleura viseralis
dapat berupa cairan transudat atau
cairan eksudat ( Pedoman Diagnosis
danTerapi / UPF ilmu penyakit paru,
1994, 111).
Etiologi
• Penyebab efusi pleura bisa
bermacam-macam seperti gagal
jantung, adanya neoplasma
(carcinoma bronchogenic dan akibat
metastasis tumor yang berasal dari
organ lain), tuberculosis paru, infark
paru, trauma, pneumoni, syndroma
nefrotik, hipoalbumin dan lain
sebagainya. (Allsagaaf H, Amin M
Saleh, 1998, 68)
Patofisiologi
• Dalam keadaan normal hanya
terdapat 10-20 ml cairan di dalam
rongga pleura.
• Jumlah cairan di rongga pleura tetap,
karena adanya tekanan hidrostatis
pleura parietalis sebesar 9 cm H2O.
• Akumulasi cairan pleura dapat terjadi
apabila tekanan osmotik koloid
menurun misalnya pada penderita
hipoalbuminemia dan bertambahnya
permeabilitas kapiler akibat ada
proses keradangan atau neoplasma,
bertambahnya tekanan hidrostatis
akibat kegagalan jantung dan tekanan
negatif intra pleura apabila terjadi
atelektasis paru (Alsagaf H, Mukti A,
1995, 145).
• Effusi pleura berarti terjadi
pengumpulan sejumlah besar cairan
bebas dalam kavum pleura.
Kemungkinan penyebab efusi antara
lain
1.penghambatan drainase limfatik dari
rongga pleura
2.gagal jantung yang menyebabkan
tekanan kapiler paru dan tekanan
perifer menjadi sangat tinggi sehingga
menimbulkan transudasi cairan yang
berlebihan ke dalam rongga pleura
3.sangat menurunnya tekanan osmotik
kolora plasma, jadi juga
memungkinkan transudasi cairan
yang berlebihan
4.infeksi atau setiap penyebab
peradangan apapun pada
permukaan pleura dari rongga
pleura, yang memecahkan
membran kapiler dan
memungkinkan pengaliran protein
plasma dan cairan ke dalam
rongga secara cepat (Guyton dan
Hall , Egc, 1997, 623-624).
Tanda & Gejala
-Manifestasi klinik efusi pleura akan
tergantung dari jumlah cairan yang ada
serta tingkat kompresi paru.
-Jika jumlah efusinya sedikit (misalnya <
250 ml), mungkin belum menimbulkan
manifestasi klinik dan hanya dapat
dideteksi dengan X-ray foto thorakks.
Dengan membesarnya efusi akan
terjadi restriksi ekspansi paru dan
pasien mungkin mengalami :
1.Dispneu bervariasi
2.Nyeri pleuritik biasanya mendahului
efusi sekunder akibat penyakit pleura
3.Trakea bergeser menjauhi sisi yang
mengalami efusi
4.Ruang interkostal menonjol (efusi
yang berat)
5.Pergerakan dada berkurang dan
terhambat pada bagian yang terkena
6.Perkusi meredup di atas efusi pleura
7.Egofoni di atas paru-paru yang
tertekan dekat efusi
8.Suara nafas berkurang di atas efusi
pleura
9.Fremitus vokal dan raba berkurang
Penatalaksanaan
• Drainase cairan jika efusi
menimbulkan gejala subyektif seperti
nyeri, dyspnea
• Antibiotik jika terjadi empiema
• Pleurodesis
• Operatif
Pengkajian keperawatan
Identitas Pasien
Pada tahap ini perawat perlu
mengetahui tentang nama, umur, jenis
kelamin, alamat rumah, agama atau
kepercayaan, suku bangsa, bahasa
yang dipakai, status pendidikan dan
pekerjaan pasien.
Keluhan Utama
• Keluhan utama merupakan faktor
utama yang mendorong pasien
mencari pertolongan atau berobat ke
rumah sakit.
• Biasanya pada pasien dengan effusi
pleura didapatkan keluhan berupa :
sesak nafas, rasa berat pada dada,
nyeri pleuritik akibat iritasi pleura yang
bersifat tajam dan terlokasilir terutama
pada saat batuk dan bernafas serta
batuk non produktif.
Riwayat Penyakit Sekarang
• Pasien dengan effusi pleura biasanya
akan diawali dengan adanya tandatanda
seperti batuk, sesak nafas, nyeri
pleuritik, rasa berat pada dada, berat
badan menurun dan sebagainya.
• Perlu juga ditanyakan mulai kapan
keluhan itu muncul. Apa tindakan yang
telah dilakukan untuk menurunkan
atau menghilangkan keluhankeluhannya
tersebut.
Riwayat Penyakit Dahulu
• Perlu ditanyakan apakah pasien
pernah menderita penyakit seperti
TBC paru, pneumoni, gagal jantung,
trauma, asites dan sebagainya. Hal ini
diperlukan untuk mengetahui
kemungkinan adanya faktor
predisposisi.
Riwayat Penyakit Keluarga
>Perlu ditanyakan apakah ada anggota
keluarga yang menderita penyakitpenyakit
yang disinyalir sebagai
penyebab effusi pleura seperti Ca paru,
asma, TB paru dan lain sebagainya
Riwayat Psikososial
>Meliputi perasaan pasien terhadap
penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya serta bagaimana perilaku
pasien terhadap tindakan yang
dilakukan terhadap dirinya.
Pengkajian Pola Fungsi
Pola persepsi dan tata laksana hidup
sehat
• Adanya tindakan medis dan
perawatan di rumah sakit
mempengaruhi perubahan persepsi
tentang kesehatan, tapi kadang juga
memunculkan persepsi yang salah
terhadap pemeliharaan kesehatan.
• Kemungkinan adanya riwayat
kebiasaan merokok, minum alkohol
dan penggunaan obat-obatan bisa
menjadi faktor predisposisi timbulnya
penyakit.
Pola nutrisi dan metabolisme
• Dalam pengkajian pola nutrisi dan
metabolisme, kita perlu melakukan
pengukuran tinggi badan dan berat
badan untuk mengetahui status nutrisi
pasien,
• Perlu ditanyakan kebiasaan makan
dan minum sebelum dan selama
MRS pasien dengan effusi pleura akan
mengalami penurunan nafsu makan
akibat dari sesak nafas dan
penekanan pada struktur abdomen.
• Peningkatan metabolisme akan terjadi
akibat proses penyakit. pasien dengan
effusi pleura keadaan umumnya
lemah.
Pola eliminasi
• Dalam pengkajian pola eliminasi perlu
ditanyakan mengenai kebiasaan
defekasi sebelum dan sesudah MRS.
• Karena keadaan umum pasien yang
lemah, pasien akan lebih banyak bed
rest sehingga akan menimbulkan
konstipasi, selain akibat pencernaan
pada struktur abdomen menyebabkan
penurunan peristaltik otot-otot
tractus degestivus.
Pola aktivitas dan latihan
• Akibat sesak nafas, kebutuhan O2
jaringan akan kurang terpenuhi
• Pasien akan cepat mengalami
kelelahan pada aktivitas minimal.
• Disamping itu pasien juga akan
mengurangi aktivitasnya akibat
adanya nyeri dada.
• Untuk memenuhi kebutuhan ADL nya
sebagian kebutuhan pasien dibantu
oleh perawat dan keluarganya.
Pola tidur dan istirahat
• Adanya nyeri dada, sesak nafas dan
peningkatan suhu tubuh akan
berpengaruh terhadap pemenuhan
kebutuhan tidur dan istitahat,
• Selain itu akibat perubahan kondisi
lingkungan dari lingkungan rumah
yang tenang ke lingkungan rumah
sakit, dimana banyak orang yang
mondar-mandir, berisik dan lain
sebagainya.
Pola hubungan dan peran
• Akibat dari sakitnya, secara langsung
pasien akan mengalami perubahan
peran, misalkan pasien seorang ibu
rumah tangga, pasien tidak dapat
menjalankan fungsinya sebagai
seorang ibu yang harus mengasuh
anaknya, mengurus suaminya.
• Disamping itu, peran pasien di
masyarakatpun juga mengalami
perubahan dan semua itu
mempengaruhi hubungan
interpersonal pasien.
Pola persepsi dan konsep diri
• Persepsi pasien terhadap dirinya akan
berubah.
• Pasien yang tadinya sehat, tiba-tiba
mengalami sakit, sesak nafas, nyeri
dada. Pasien mungkin akan
beranggapan bahwa penyakitnya
adalah penyakit berbahaya dan
mematikan.
• Dalam hal ini pasien mungkin akan
kehilangan gambaran positif terhadap
dirinya
Pola sensori dan kognitif
• Fungsi panca indera pasien tidak
mengalami perubahan, demikian juga
dengan proses berpikirnya.
Pola reproduksi seksual
• Kebutuhan seksual pasien dalam hal
ini hubungan seks intercourse akan
terganggu untuk sementara waktu
karena pasien berada di rumah sakit
dan kondisi fisiknya masih lemah.
Pola penanggulangan stress
• Bagi pasien yang belum mengetahui
proses penyakitnya akan mengalami
stress dan mungkin pasien akan
banyak bertanya pada perawat dan
dokter yang merawatnya atau orang
yang mungkin dianggap lebih tahu
mengenai penyakitnya.
Pola tata nilai dan kepercayaan
• Sebagai seorang beragama pasien
akan lebih mendekatkan dirinya
kepada Tuhan dan menganggap
bahwa penyakitnya ini adalah suatu
cobaan dari Tuhan.
• Pemeriksaan Fisik
• Status Kesehatan Umum
• Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji,
bagaimana penampilan pasien secara
umum, ekspresi wajah pasien selama
dilakukan anamnesa, sikap dan
perilaku pasien terhadap petugas,
bagaimana mood pasien untuk
mengetahui tingkat kecemasan dan
ketegangan pasien.
• Perlu juga dilakukan pengukuran
tinggi badan berat badan pasien.
Sistem Respirasi
Inspeksi
• Pada pasien effusi pleura bentuk
hemithorax yang sakit mencembung,
iga mendatar, ruang antar iga melebar,
pergerakan pernafasan menurun.
Pendorongan mediastinum ke arah
hemithorax kontra lateral yang
diketahui dari posisi trakhea dan ictus
kordis. RR cenderung meningkat dan
Px biasanya dyspneu.
• Fremitus tokal menurun terutama
untuk effusi pleura yang jumlah
cairannya > 250 cc. Disamping itu
pada palpasi juga ditemukan
pergerakan dinding dada yang
tertinggal pada dada yang sakit.
• Suara perkusi redup sampai pekak
tegantung jumlah cairannya. Bila
cairannya tidak mengisi penuh rongga
pleura, maka akan terdapat batas atas
cairan berupa garis lengkung dengan
ujung lateral atas ke medical penderita
dalam posisi duduk. Garis ini disebut
garis Ellis-Damoisseaux. Garis ini
paling jelas di bagian depan dada,
kurang jelas di punggung.
• Auskultasi Suara nafas menurun
sampai menghilang. Pada posisi
duduk cairan makin ke atas makin
tipis, dan dibaliknya ada kompresi
atelektasis dari parenkian paru,
mungkin saja akan ditemukan tandatanda
auskultasi dari atelektasis
kompresi di sekitar batas atas cairan.
• Ditambah lagi dengan tanda i – e
artinya bila penderita diminta
mengucapkan kata-kata i maka akan
terdengar suara e sengau, yang
disebut egofoni (Alsagaf H, Ida Bagus,
Widjaya Adjis, Mukty Abdol, 1994,79)
Sistem Cardiovasculer
• Pada inspeksi perlu diperhatikan letak
ictus cordis, normal berada pada ICS
– 5 pada linea medio claviculaus kiri
selebar 1 cm. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya pembesaran jantung.
• Palpasi untuk menghitung frekuensi
jantung (health rate) dan harus
diperhatikan kedalaman dan teratur
tidaknya denyut jantung, perlu juga
memeriksa adanya thrill yaitu getaran
ictus cordis.
• Perkusi untuk menentukan batas
jantung dimana daerah jantung
terdengar pekak. Hal ini bertujuan
untuk menentukan adakah
pembesaran jantung atau ventrikel kiri.
• Auskultasi untuk menentukan suara
jantung I dan II tunggal atau gallop
dan adakah bunyi jantung III yang
merupakan gejala payah jantung serta
adakah murmur yang menunjukkan
adanya peningkatan arus turbulensi
darah.
Sistem Pencernaan
• Pada inspeksi perlu diperhatikan,
apakah abdomen membuncit atau
datar, tepi perut menonjol atau tidak,
umbilicus menonjol atau tidak, selain
itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya
benjolan-benjolan atau massa.
• Auskultasi untuk mendengarkan suara
peristaltik usus dimana nilai normalnya
5-35 kali permenit.
• Pada palpasi perlu juga diperhatikan,
adakah nyeri tekan abdomen, adakah
massa (tumor, feces), turgor kulit perut
untuk mengetahui derajat hidrasi
pasien, apakah hepar teraba, juga
apakah lien teraba.
• Perkusi abdomen normal tympani,
adanya massa padat atau cairan akan
menimbulkan suara pekak (hepar,
asites, vesika urinarta, tumor).
Sistem Neurologis
• Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu
dikaji Disamping juga diperlukan
pemeriksaan GCS. Adakah
composmentis atau somnolen atau
comma.
• Pemeriksaan refleks patologis dan
refleks fisiologisnya.
• Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga
perlu dikaji seperti pendengaran,
penglihatan, penciuman, perabaan
dan pengecapan.
Sistem Muskuloskeletal
• Pada inspeksi perlu diperhatikan
adakah edema peritibial
• Palpasi pada kedua ekstremetas
untuk mengetahui tingkat perfusi
perifer serta dengan pemerikasaan
capillary refil time.
• Dengan inspeksi dan palpasi
dilakukan pemeriksaan kekuatan otot
kemudian dibandingkan antara kiri dan
kanan.
Sistem Integumen
• Inspeksi mengenai keadaan umum
kulit higiene, warna ada tidaknya lesi
pada kulit, pada Px dengan effusi
biasanya akan tampak cyanosis akibat
adanya kegagalan sistem transport
O2.
• Pada palpasi perlu diperiksa
mengenai kehangatan kulit (dingin,
hangat, demam). Kemudian texture
kulit (halus-lunak-kasar) serta turgor
kulit untuk mengetahui derajat hidrasi
seseorang.
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan laboratorium
• Darah lengkap dan kimia darah
• Bakteriologis
• Analisis cairan pleura
• Pemeriksaan radiologis
• Biopsi
Diagnosa Keperawatan
• Ketidakefektifan pola pernafasan
berhubungan dengan menurunnya
ekspansi paru sekunder terhadap
penumpukkan cairan dalam rongga
pleura (Susan Martin Tucleer, dkk,
1998).
• Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan
dengan peningkatan metabolisme
tubuh, penurunan nafsu makan akibat
sesak nafas sekunder terhadap
penekanan struktur abdomen
(Barbara Engram, 1993).
• Cemas berhubungan dengan adanya
ancaman kematian yang dibayangkan
(ketidakmampuan untuk bernafas).
• Gangguan pola tidur berhubungan
dengan batuk yang menetap dan
sesak nafas serta perubahan
suasana lingkungan
• Defisit perawatan diri berhubungan
dengan keletihan (keadaan fisik yang
lemah)
• Kurang pengetahuan mengenai
kondisi, aturan pengobatan
berhubungan dengan kurang terpajan
informasi

askep hipertensi

A. KONSEP DASAR

1. Pengertian

Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang bersifat sementara (Hudak and Gallo,1996).

Kejang demam adalah serangan pada anak yang terjadi dari kumpulan gejala dengan demam (Walley and Wong’s edisi III,1996).

Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M. Wikson, 1995).

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang sering di jumpai pada usia anak dibawah lima tahun.

2. Patofisiologi

a. Etiologi

Kejang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi patologis, termasuk tumor otak, trauma, bekuan darah pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan elektrolit, dan gejala putus alkohol dan obat gangguan metabolik, uremia, overhidrasi, toksik subcutan dan anoksia serebral. Sebagian kejang merupakan idiopati (tidak diketahui etiologinya).

1) Intrakranial

Asfiksia : Ensefolopati hipoksik – iskemik

Trauma (perdarahan) : perdarahan subaraknoid, subdural, atau intra ventrikular

Infeksi : Bakteri, virus, parasit

Kelainan bawaan : disgenesis korteks serebri, sindrom zelluarge, Sindrom Smith – Lemli – Opitz.

2) Ekstra kranial

Gangguan metabolik : Hipoglikemia, hipokalsemia, hipomognesemia, gangguan elektrolit (Na dan K)

Toksik : Intoksikasi anestesi lokal, sindrom putus obat.

Kelainan yang diturunkan : gangguan metabolisme asam amino, ketergantungan dan kekurangan produksi kernikterus.

3) Idiopatik

Kejang neonatus fanciliel benigna, kejang hari ke-5 (the fifth day fits)

b. Patofisiologi

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel / organ otak diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glucose,sifat proses itu adalah oxidasi dengan perantara pungsi paru-paru dan diteruskan keotak melalui system kardiovaskuler.

Berdasarkan hal diatas bahwa energi otak adalah glukosa yang melalui proses oxidasi, dan dipecah menjadi karbon dioksidasi dan air. Sel dikelilingi oleh membran sel. Yang terdiri dari permukaan dalam yaitu limford dan permukaan luar yaitu tonik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui oleh ion NA + dan elektrolit lainnya, kecuali ion clorida.

Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi NA+ rendah. Sedangkan didalam sel neuron terdapat keadaan sebaliknya,karena itu perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel. Maka terdapat perbedaan membran yang disebut potensial nmembran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim NA, K, ATP yang terdapat pada permukaan sel.

Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah dengan perubahan konsentrasi ion diruang extra selular, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan dari patofisiologisnya membran sendiri karena penyakit/keturunan. Pada seorang anak sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibanding dengan orang dewasa 15 %. Dan karena itu pada anak tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dalam singkat terjadi dipusi di ion K+ maupun ion NA+ melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepasnya muatan listrik.

Lepasnya muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga mengakibatkan terjadinya kejang. Kejang yang yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa.

Tetapi kejang yang berlangsung lama lebih 15 menit biasanya disertai apnea, NA meningkat, kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis.

c. Manifestasi klinik

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat : misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkhitis, serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik.

Kejang berhenti sendiri, menghadapi pasien dengan kejang demam, mungkin timbul pertanyaan sifat kejang/gejala yang manakah yang mengakibatkan anak menderita epilepsy.

untuk itu livingston membuat kriteria dan membagi kejang demam menjadi 2 golongan yaitu :

1. Kejang demam sederhana (simple fibrile convulsion)

2. Epilepsi yang di provokasi oleh demam epilepsi trigered off fever

Disub bagian anak FKUI, RSCM Jakarta, Kriteria Livingstone tersebut setelah dimanifestasikan di pakai sebagai pedoman untuk membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu :

1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan & 4 tahun

2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tak lebih dari 15 menit.

3. Kejang bersifat umum,Frekuensi kejang bangkitan dalam 1th tidak > 4 kali

4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam

5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal

6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya seminggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan.

3. Klasifikasi kejang

Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang tonik dan kejang mioklonik.

a. Kejang Tonik

Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi selaput otak atau kernikterus

b. Kejang Klonik

Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.

c. Kejang Mioklonik

Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan hebat. Gambaran EEG pada kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.

4. Diagnosa banding kejang pada anak

Adapun diagnosis banding kejang pada anak adalah gemetar, apnea dan mioklonus nokturnal benigna.

a. Gemetar

Gemetar merupakan bentuk klinis kejang pada anak tetapi sering membingungkan terutama bagi yang belum berpengalaman. Keadaan ini dapat terlihat pada anak normal dalam keadaan lapar seperti hipoglikemia, hipokapnia dengan hiperiritabilitas neuromuskular, bayi dengan ensepalopati hipoksik iskemi dan BBLR. Gemetar adalah gerakan tremor cepat dengan irama dan amplitudo teratur dan sama, kadang-kadang bentuk gerakannya menyerupai klonik .

b. Apnea

Pada BBLR biasanya pernafasan tidak teratur, diselingi dengan henti napas 3-6 detik dan sering diikuti hiper sekresi selama 10 – 15 detik. Berhentinya pernafasan tidak disertai dengan perubahan denyut jantung, tekanan darah, suhu badan, warna kulit. Bentuk pernafasan ini disebut pernafasan di batang otak. Serangan apnea selama 10 – 15 detik terdapat pada hampir semua bagi prematur, kadang-kadang pada bayi cukup bulan.

Serangan apnea tiba-tiba yang disertai kesadaran menurun pada BBLR perlu di curigai adanya perdarahan intrakranial dengan penekanan batang otak. Pada keadaan ini USG perlu segera dilakukan. Serangan Apnea yang termasuk gejala kejang adalah apabila disertai dengan bentuk serangan kejang yang lain dan tidak disertai bradikardia.

c. Mioklonus Nokturnal Benigna

Gerakan terkejut tiba-tiba anggota gerak dapat terjadi pada semua orang waktu tidur. Biasanya timbul pada waktu permulaan tidur berupa pergerakan fleksi pada jari persendian tangan dan siku yang berulang. Apabila serangan tersebut berlangsung lama dapat dapat disalahartikan sebagai bentuk kejang klonik fokal atau mioklonik. Mioklonik nokturnal benigna ini dapat dibedakan dengan kejang dan gemetar karena timbulnya selalu waktu tidur tidak dapat di stimulasi dan pemeriksaan EEG normal. Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan

5. Penatalaksanaan

Pada umumnya kejang pada BBLR merupakan kegawatan, karena kejang merupakan tanda adanya penyakit mengenai susunan saraf pusat, yang memerlukan tindakan segera untuk mencegah kerusakan otak lebih lanjut.

Penatalaksanaan Umum terdiri dari :

a. Mengawasi bayi dengan teliti dan hati-hati

b. Memonitor pernafasan dan denyut jantung

c. Usahakan suhu tetap stabil

d. Perlu dipasang infus untuk pemberian glukosa dan obat lain

e. Pemeriksaan EEG, terutama pada pemberian pridoksin intravena

Bila etiologi telah diketahui pengobatan terhadap penyakit primer segera dilakukan. Bila terdapat hipogikemia, beri larutan glukosa 20 % dengan dosis 2 – 4 ml/kg BB secara intravena dan perlahan kemudian dilanjutkan dengan larutan glukosa 10 % sebanyak 60 – 80 ml/kg secara intravena. Pemberian Ca – glukosa hendaknya disertai dengan monitoring jantung karena dapat menyebabkan bradikardi. Kemudian dilanjutkan dengan peroral sesuai kebutuhan. Bila secara intravena tidak mungkin, berikan larutan Ca glukosa 10 % sebanyak 10 ml per oral setiap sebelum minum susu.

Bila kejang tidak hilang, harus pikirkan pemberian magnesium dalam bentuk larutan 50% Mg SO4 dengan dosis 0,2 ml/kg BB (IM) atau larutan 2-3 % mg SO4 (IV) sebanyak 2 – 6 ml. Hati-hati terjadi hipermagnesemia sebab gejala hipotonia umum menyerupai floppy infant dapat muncul.

Pengobatan dengan antikonvulsan dapat dimulai bila gangguan metabolik seperti hipoglikemia atau hipokalsemia tidak dijumpai. Obat konvulsan pilihan utama untuk bayi baru lahir adalah Fenobarbital (Efek mengatasi kejang, mengurangi metabolisme sel yang rusak dan memperbaiki sirkulasi otak sehingga melindungi sel yang rusak karena asfiksia dan anoxia). Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg . kg BB IV berikan dalam 2 dosis selama 20 menit.

Banyak penulis tidak atau jarang menggunakan diazepam untuk memberantas kejang pada BBL dengan alasan

a. Efek diazepam hanya sebentar dan tidak dapat mencegah kejang berikutnya

b. Pemberian bersama-sama dengan fenobarbital akan mempengaruhi pusat pernafasan

c. Zat pelarut diazepam mengandung natrium benzoat yang dapat menghalangi peningkatan bilirubin dalam darah.

6. Pemeriksaan fisik dan laboratorium

a. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan neurologik, pemeriksaan ini dilakukan secara sistematis dan berurutan seperti berikut :

1) hakan lihat sendiri manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang berpindah-pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.

2) Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan terdapatnya kuadriparesis flasid mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.

3) Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan yang disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang tegang dan membenjol menunjukkan adanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahan sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel enterior yang disebabkan karena kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.

4) Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial yang mungkin disertai gangguan perkembangan kortex serebri.

5) Pemeriksaan fundus kopi dapat menunjukkan kelainan perdarahan retina atau subhialoid yang merupakan gejala potogonomik untuk hematoma subdural. Ditemukannya korioretnitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi sitomegalovirus dan rubella. Tanda stasis vaskuler dengan pelebaran vena yang berkelok – kelok di retina terlihat pada sindom hiperviskositas.

6) Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan cairan subdural atau kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.

7) Pemeriksaan umum penting dilakukan misalnya mencari adanya sianosis dan bising jantung, yang dapat membantu diagnosis iskemia otak.

b. Pemeriksaan laboratorium

Perlu diadakan pemeriksaan laboratorium segera, berupa pemeriksaan gula dengan cara dextrosfrx dan fungsi lumbal. Hal ini berguna untuk menentukan sikap terhadap pengobatan hipoglikemia dan meningitis bakterilisasi.

Selain itu pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu

1) Pemeriksaan darah rutin ; Hb, Ht dan Trombosit. Pemeriksaan darah rutin secara berkala penting untuk memantau pendarahan intraventikuler.

2) Pemeriksaan gula darah, kalsium, magnesium, kalium, urea, nitrogen, amonia dan analisis gas darah.

3) Fungsi lumbal, untuk menentukan perdarahan, peradangan, pemeriksaan kimia. Bila cairan serebro spinal berdarah, sebagian cairan harus diputar, dan bila cairan supranatan berwarna kuning menandakan adanya xantrokromia. Untuk mengatasi terjadinya trauma pada fungsi lumbal dapat di kerjakan hitung butir darah merah pada ketiga tabung yang diisi cairan serebro spinal

4) Pemeriksaan EKG dapat mendekteksi adanya hipokalsemia

5) Pemeriksaan EEG penting untuk menegakkan diagnosa kejang. EEG juga diperlukan untuk menentukan pragnosis pada bayi cukup bulan. Bayi yang menunjukkan EEG latar belakang abnormal dan terdapat gelombang tajam multifokal atau dengan brust supresion atau bentuk isoelektrik. Mempunyai prognosis yang tidak baik dan hanya 12 % diantaranya mempunyai / menunjukkan perkembangan normal. Pemeriksaan EEG dapat juga digunakan untuk menentukan lamanya pengobatan. EEG pada bayi prematur dengan kejang tidak dapat meramalkan prognosis.

6) Bila terdapat indikasi, pemeriksaan lab, dilanjutkan untuk mendapatkan diagnosis yang pasti yaitu mencakup :

a) Periksaan urin untuk asam amino dan asam organic
b) Biakan darah dan pemeriksaan liter untuk toxoplasmosis rubella, citomegalovirus dan virus herpes.
c) Foto rontgen kepala bila ukuran lingkar kepala lebih kecil atau lebih besar dari aturan baku
d) USG kepala untuk mendeteksi adanya perdarahan subepedmal, pervertikular, dan vertikular

e) Penataan kepala untuk mengetahui adanya infark, perdarahan intrakranial, klasifikasi dan kelainan bawaan otak

e) Top coba subdural, dilakukan sesudah fungsi lumbal bila transluminasi positif dengan ubun – ubun besar tegang, membenjol dan kepala membesar.

7. Tumbuh kembang pada anak usia 1 – 3 tahu

1. Fisik

f. Ubun-ubun anterior tertutup.

g. Physiologis dapat mengontrol spinkter

2. Motorik kasar

a. Berlari dengan tidak mantap

b. Berjalan diatas tangga dengan satu tangan

c. Menarik dan mendorong mainan

d. Melompat ditempat dengan kedua kaki

e. Dapat duduk sendiri ditempat duduk

f. Melempar bola diatas tangan tanpa jatuh

3. Motorik halus

a. Dapat membangun menara 3 dari 4 bangunan

b. Melepaskan dan meraih dengan baik

c. Membuka halaman buku 2 atau 3 dalam satu waktu

d. Menggambar dengan membuat tiruan

4. Vokal atau suara

a. Mengatakan 10 kata atau lebih

b. Menyebutkan beberapa obyek seperti sepatu atau bola dan 2 atau 3 bagian tubuh

5. Sosialisasi atau kognitif

a. Meniru

b. Menggunakan sendok dengan baik

c. Menggunakan sarung tangan

d. Watak pemarah mungkin lebih jelas

e. Mulai sadar dengan barang miliknya

8. Dampak hospitalisasi

Pengalaman cemas pada perpisahan, protes secara fisik dan menangis, perasaan hilang kontrol menunjukkan temperamental, menunjukkan regresi, protes secara verbal, takut terhadap luka dan nyeri, dan dapat menggigit serta dapat mendepak saat berinteraksi.

Permasalahan yang ditemukan yaitu sebagai berikut :

a) Rasa takut

1) Memandang penyakit dan hospitalisasi

2) Takut terhadap lingkungan dan orang yang tidak dikenal

3) Pemahaman yang tidak sempurna tentang penyakit

4) Pemikiran yang sederhana : hidup adalah mesin yang menakutkan

5) Demonstrasi : menangis, merengek, mengangkat lengan, menghisap jempol, menyentuh tubuh yang sakit berulang-ulang.

b. Ansietas

1) Cemas tentang kejadian yang tidakdikenal

2) Protes (menangis dan mudah marah, (merengek)

3) Putus harapan : komunikasi buruk, kehilangan ketrampilan yang baru tidak berminat

4) Menyendiri terhadap lingkungan rumah sakit

5) Tidak berdaya

6) Merasa gagap karena kehilangan ketrampilan

7) Mimpi buruk dan takut kegelapan, orang asing, orang berseragam dan yang memberi pengobatan atau perawatan

8) Regresi dan Ansietas tergantung saat makan menghisap jempol

9) Protes dan Ansietas karena restrain

c. Gangguan citra diri

1) Sedih dengan perubahan citra diri

2) Takut terhadap prosedur invasive (nyeri)

3) Mungkin berpikir : bagian dalam tubuh akan keluar kalau selang dicabut

B. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

1. Pengkajian

Yang paling penting peran perawat selama pasien kejang adalah observasi kejangnya dan gambarkan kejadiannya. Setiap episode kejang mempunyai karakteristik yang berbeda misal adanya halusinasi (aura ), motor efek seperti pergerakan bola mata , kontraksi otot lateral harus didokumentasikan termasuk waktu kejang dimulai dan lamanya kejang.

Riwayat penyakit juga memegang peranan penting untuk mengidentifikasi faktor pencetus kejang untuk pengobservasian sehingga bisa meminimalkan kerusakan yang ditimbulkan oleh kejang.

1. Aktivitas / istirahat : keletihan, kelemahan umum, perubahan tonus / kekuatan otot. Gerakan involunter

2. Sirkulasi : peningkatan nadi, sianosis, tanda vital tidak normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan

3. Integritas ego : stressor eksternal / internal yang berhubungan dengan keadaan dan atau penanganan, peka rangsangan.

4. Eliminasi : inkontinensia episodik, peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus spinkter

5. Makanan / cairan : sensitivitas terhadap makanan, mual dan muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak / gigi

6. Neurosensor : aktivitas kejang berulang, riwayat truma kepala dan infeksi serebra

7. Riwayat jatuh / trauma

2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul

1. Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.

2. Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neoromuskular

3. Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh

4. Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi, penurunan kekuatan

5. Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi

3. INTERVENSI

Diagnosa 1

Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.

Tujuan

Cidera / trauma tidak terjadi

Kriteria hasil

Faktor penyebab diketahui, mempertahankan aturan pengobatan, meningkatkan keamanan lingkungan

Intervensi

Kaji dengan keluarga berbagai stimulus pencetus kejang. Observasi keadaan umum, sebelum, selama, dan sesudah kejang. Catat tipe dari aktivitas kejang dan beberapa kali terjadi. Lakukan penilaian neurology, tanda-tanda vital setelah kejang. Lindungi klien dari trauma atau kejang.

Berikan kenyamanan bagi klien. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi anti compulsan

Diagnosa 2

Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neuromuskular

Tujuan

Inefektifnya bersihan jalan napas tidak terjadi

Kriteria hasil

Jalan napas bersih dari sumbatan, suara napas vesikuler, sekresi mukosa tidak ada, RR dalam batas normal

Intervensi

Observasi tanda-tanda vital, atur posisi tidur klien fowler atau semi fowler. Lakukan penghisapan lendir, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi

Diagnosa 3

Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh

Tujuan

Aktivitas kejang tidak berulang

Kriteria hasil

Kejang dapat dikontrol, suhu tubuh kembali normal

Intervensi

Kaji factor pencetus kejang. Libatkan keluarga dalam pemberian tindakan pada klien. Observasi tanda-tanda vital. Lindungi anak dari trauma. Berikan kompres dingin pda daerah dahi dan ketiak.

Diagnosa 4

Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi, penurunan kekuatan

Tujuan

Kerusakan mobilisasi fisik teratasi

Kriteria hasil

Mobilisasi fisik klien aktif , kejang tidak ada, kebutuhan klien teratasi

Intervensi

Kaji tingkat mobilisasi klien. Kaji tingkat kerusakan mobilsasi klien. Bantu klien dalam pemenuhan kebutuhan. Latih klien dalam mobilisasi sesuai kemampuan klien. Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan klien.

Diagnosa 5

Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi

Tujuan

Pengetahuan keluarga meningkat

Kriteria hasil

Keluarga mengerti dengan proses penyakit kejang demam, keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien.

Intervensi

Kaji tingkat pendidikan keluarga klien. Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien. Jelaskan pada keluarga klien tentang penyakit kejang demam melalui penkes. Beri kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal yang belum dimengerti. Libatkan keluarga dalam setiap tindakan pada klien.

6. EVALUASI

1. Cidera / trauma tidak terjadi

2. Inefektifnya bersihan jalan napas tidak terjadi

3. Aktivitas kejang tidak berulang

4. Kerusakan mobilisasi fisik teratasi

5. Pengetahuan keluarga meningkat

askep anak dengan kejang demam

A. KONSEP DASAR

1. Pengertian

Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang bersifat sementara (Hudak and Gallo,1996).

Kejang demam adalah serangan pada anak yang terjadi dari kumpulan gejala dengan demam (Walley and Wong’s edisi III,1996).

Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M. Wikson, 1995).

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang sering di jumpai pada usia anak dibawah lima tahun.

2. Patofisiologi

a. Etiologi

Kejang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi patologis, termasuk tumor otak, trauma, bekuan darah pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan elektrolit, dan gejala putus alkohol dan obat gangguan metabolik, uremia, overhidrasi, toksik subcutan dan anoksia serebral. Sebagian kejang merupakan idiopati (tidak diketahui etiologinya).

1) Intrakranial

Asfiksia : Ensefolopati hipoksik – iskemik

Trauma (perdarahan) : perdarahan subaraknoid, subdural, atau intra ventrikular

Infeksi : Bakteri, virus, parasit

Kelainan bawaan : disgenesis korteks serebri, sindrom zelluarge, Sindrom Smith – Lemli – Opitz.

2) Ekstra kranial

Gangguan metabolik : Hipoglikemia, hipokalsemia, hipomognesemia, gangguan elektrolit (Na dan K)

Toksik : Intoksikasi anestesi lokal, sindrom putus obat.

Kelainan yang diturunkan : gangguan metabolisme asam amino, ketergantungan dan kekurangan produksi kernikterus.

3) Idiopatik

Kejang neonatus fanciliel benigna, kejang hari ke-5 (the fifth day fits)

b. Patofisiologi

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel / organ otak diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glucose,sifat proses itu adalah oxidasi dengan perantara pungsi paru-paru dan diteruskan keotak melalui system kardiovaskuler.

Berdasarkan hal diatas bahwa energi otak adalah glukosa yang melalui proses oxidasi, dan dipecah menjadi karbon dioksidasi dan air. Sel dikelilingi oleh membran sel. Yang terdiri dari permukaan dalam yaitu limford dan permukaan luar yaitu tonik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui oleh ion NA + dan elektrolit lainnya, kecuali ion clorida.

Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi NA+ rendah. Sedangkan didalam sel neuron terdapat keadaan sebaliknya,karena itu perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel. Maka terdapat perbedaan membran yang disebut potensial nmembran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim NA, K, ATP yang terdapat pada permukaan sel.

Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah dengan perubahan konsentrasi ion diruang extra selular, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan dari patofisiologisnya membran sendiri karena penyakit/keturunan. Pada seorang anak sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibanding dengan orang dewasa 15 %. Dan karena itu pada anak tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dalam singkat terjadi dipusi di ion K+ maupun ion NA+ melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepasnya muatan listrik.

Lepasnya muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga mengakibatkan terjadinya kejang. Kejang yang yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa.

Tetapi kejang yang berlangsung lama lebih 15 menit biasanya disertai apnea, NA meningkat, kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis.

c. Manifestasi klinik

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat : misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkhitis, serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik.

Kejang berhenti sendiri, menghadapi pasien dengan kejang demam, mungkin timbul pertanyaan sifat kejang/gejala yang manakah yang mengakibatkan anak menderita epilepsy.

untuk itu livingston membuat kriteria dan membagi kejang demam menjadi 2 golongan yaitu :

1. Kejang demam sederhana (simple fibrile convulsion)

2. Epilepsi yang di provokasi oleh demam epilepsi trigered off fever

Disub bagian anak FKUI, RSCM Jakarta, Kriteria Livingstone tersebut setelah dimanifestasikan di pakai sebagai pedoman untuk membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu :

1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan & 4 tahun

2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tak lebih dari 15 menit.

3. Kejang bersifat umum,Frekuensi kejang bangkitan dalam 1th tidak > 4 kali

4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam

5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal

6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya seminggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan.

3. Klasifikasi kejang

Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang tonik dan kejang mioklonik.

a. Kejang Tonik

Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi selaput otak atau kernikterus

b. Kejang Klonik

Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.

c. Kejang Mioklonik

Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan hebat. Gambaran EEG pada kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.

4. Diagnosa banding kejang pada anak

Adapun diagnosis banding kejang pada anak adalah gemetar, apnea dan mioklonus nokturnal benigna.

a. Gemetar

Gemetar merupakan bentuk klinis kejang pada anak tetapi sering membingungkan terutama bagi yang belum berpengalaman. Keadaan ini dapat terlihat pada anak normal dalam keadaan lapar seperti hipoglikemia, hipokapnia dengan hiperiritabilitas neuromuskular, bayi dengan ensepalopati hipoksik iskemi dan BBLR. Gemetar adalah gerakan tremor cepat dengan irama dan amplitudo teratur dan sama, kadang-kadang bentuk gerakannya menyerupai klonik .

b. Apnea

Pada BBLR biasanya pernafasan tidak teratur, diselingi dengan henti napas 3-6 detik dan sering diikuti hiper sekresi selama 10 – 15 detik. Berhentinya pernafasan tidak disertai dengan perubahan denyut jantung, tekanan darah, suhu badan, warna kulit. Bentuk pernafasan ini disebut pernafasan di batang otak. Serangan apnea selama 10 – 15 detik terdapat pada hampir semua bagi prematur, kadang-kadang pada bayi cukup bulan.

Serangan apnea tiba-tiba yang disertai kesadaran menurun pada BBLR perlu di curigai adanya perdarahan intrakranial dengan penekanan batang otak. Pada keadaan ini USG perlu segera dilakukan. Serangan Apnea yang termasuk gejala kejang adalah apabila disertai dengan bentuk serangan kejang yang lain dan tidak disertai bradikardia.

c. Mioklonus Nokturnal Benigna

Gerakan terkejut tiba-tiba anggota gerak dapat terjadi pada semua orang waktu tidur. Biasanya timbul pada waktu permulaan tidur berupa pergerakan fleksi pada jari persendian tangan dan siku yang berulang. Apabila serangan tersebut berlangsung lama dapat dapat disalahartikan sebagai bentuk kejang klonik fokal atau mioklonik. Mioklonik nokturnal benigna ini dapat dibedakan dengan kejang dan gemetar karena timbulnya selalu waktu tidur tidak dapat di stimulasi dan pemeriksaan EEG normal. Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan

5. Penatalaksanaan

Pada umumnya kejang pada BBLR merupakan kegawatan, karena kejang merupakan tanda adanya penyakit mengenai susunan saraf pusat, yang memerlukan tindakan segera untuk mencegah kerusakan otak lebih lanjut.

Penatalaksanaan Umum terdiri dari :

a. Mengawasi bayi dengan teliti dan hati-hati

b. Memonitor pernafasan dan denyut jantung

c. Usahakan suhu tetap stabil

d. Perlu dipasang infus untuk pemberian glukosa dan obat lain

e. Pemeriksaan EEG, terutama pada pemberian pridoksin intravena

Bila etiologi telah diketahui pengobatan terhadap penyakit primer segera dilakukan. Bila terdapat hipogikemia, beri larutan glukosa 20 % dengan dosis 2 – 4 ml/kg BB secara intravena dan perlahan kemudian dilanjutkan dengan larutan glukosa 10 % sebanyak 60 – 80 ml/kg secara intravena. Pemberian Ca – glukosa hendaknya disertai dengan monitoring jantung karena dapat menyebabkan bradikardi. Kemudian dilanjutkan dengan peroral sesuai kebutuhan. Bila secara intravena tidak mungkin, berikan larutan Ca glukosa 10 % sebanyak 10 ml per oral setiap sebelum minum susu.

Bila kejang tidak hilang, harus pikirkan pemberian magnesium dalam bentuk larutan 50% Mg SO4 dengan dosis 0,2 ml/kg BB (IM) atau larutan 2-3 % mg SO4 (IV) sebanyak 2 – 6 ml. Hati-hati terjadi hipermagnesemia sebab gejala hipotonia umum menyerupai floppy infant dapat muncul.

Pengobatan dengan antikonvulsan dapat dimulai bila gangguan metabolik seperti hipoglikemia atau hipokalsemia tidak dijumpai. Obat konvulsan pilihan utama untuk bayi baru lahir adalah Fenobarbital (Efek mengatasi kejang, mengurangi metabolisme sel yang rusak dan memperbaiki sirkulasi otak sehingga melindungi sel yang rusak karena asfiksia dan anoxia). Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg . kg BB IV berikan dalam 2 dosis selama 20 menit.

Banyak penulis tidak atau jarang menggunakan diazepam untuk memberantas kejang pada BBL dengan alasan

a. Efek diazepam hanya sebentar dan tidak dapat mencegah kejang berikutnya

b. Pemberian bersama-sama dengan fenobarbital akan mempengaruhi pusat pernafasan

c. Zat pelarut diazepam mengandung natrium benzoat yang dapat menghalangi peningkatan bilirubin dalam darah.

6. Pemeriksaan fisik dan laboratorium

a. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan neurologik, pemeriksaan ini dilakukan secara sistematis dan berurutan seperti berikut :

1) hakan lihat sendiri manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang berpindah-pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.

2) Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan terdapatnya kuadriparesis flasid mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.

3) Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan yang disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang tegang dan membenjol menunjukkan adanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahan sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel enterior yang disebabkan karena kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.

4) Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial yang mungkin disertai gangguan perkembangan kortex serebri.

5) Pemeriksaan fundus kopi dapat menunjukkan kelainan perdarahan retina atau subhialoid yang merupakan gejala potogonomik untuk hematoma subdural. Ditemukannya korioretnitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi sitomegalovirus dan rubella. Tanda stasis vaskuler dengan pelebaran vena yang berkelok – kelok di retina terlihat pada sindom hiperviskositas.

6) Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan cairan subdural atau kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.

7) Pemeriksaan umum penting dilakukan misalnya mencari adanya sianosis dan bising jantung, yang dapat membantu diagnosis iskemia otak.

b. Pemeriksaan laboratorium

Perlu diadakan pemeriksaan laboratorium segera, berupa pemeriksaan gula dengan cara dextrosfrx dan fungsi lumbal. Hal ini berguna untuk menentukan sikap terhadap pengobatan hipoglikemia dan meningitis bakterilisasi.

Selain itu pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu

1) Pemeriksaan darah rutin ; Hb, Ht dan Trombosit. Pemeriksaan darah rutin secara berkala penting untuk memantau pendarahan intraventikuler.

2) Pemeriksaan gula darah, kalsium, magnesium, kalium, urea, nitrogen, amonia dan analisis gas darah.

3) Fungsi lumbal, untuk menentukan perdarahan, peradangan, pemeriksaan kimia. Bila cairan serebro spinal berdarah, sebagian cairan harus diputar, dan bila cairan supranatan berwarna kuning menandakan adanya xantrokromia. Untuk mengatasi terjadinya trauma pada fungsi lumbal dapat di kerjakan hitung butir darah merah pada ketiga tabung yang diisi cairan serebro spinal

4) Pemeriksaan EKG dapat mendekteksi adanya hipokalsemia

5) Pemeriksaan EEG penting untuk menegakkan diagnosa kejang. EEG juga diperlukan untuk menentukan pragnosis pada bayi cukup bulan. Bayi yang menunjukkan EEG latar belakang abnormal dan terdapat gelombang tajam multifokal atau dengan brust supresion atau bentuk isoelektrik. Mempunyai prognosis yang tidak baik dan hanya 12 % diantaranya mempunyai / menunjukkan perkembangan normal. Pemeriksaan EEG dapat juga digunakan untuk menentukan lamanya pengobatan. EEG pada bayi prematur dengan kejang tidak dapat meramalkan prognosis.

6) Bila terdapat indikasi, pemeriksaan lab, dilanjutkan untuk mendapatkan diagnosis yang pasti yaitu mencakup :

a) Periksaan urin untuk asam amino dan asam organic
b) Biakan darah dan pemeriksaan liter untuk toxoplasmosis rubella, citomegalovirus dan virus herpes.
c) Foto rontgen kepala bila ukuran lingkar kepala lebih kecil atau lebih besar dari aturan baku
d) USG kepala untuk mendeteksi adanya perdarahan subepedmal, pervertikular, dan vertikular

e) Penataan kepala untuk mengetahui adanya infark, perdarahan intrakranial, klasifikasi dan kelainan bawaan otak

e) Top coba subdural, dilakukan sesudah fungsi lumbal bila transluminasi positif dengan ubun – ubun besar tegang, membenjol dan kepala membesar.

7. Tumbuh kembang pada anak usia 1 – 3 tahu

1. Fisik

f. Ubun-ubun anterior tertutup.

g. Physiologis dapat mengontrol spinkter

2. Motorik kasar

a. Berlari dengan tidak mantap

b. Berjalan diatas tangga dengan satu tangan

c. Menarik dan mendorong mainan

d. Melompat ditempat dengan kedua kaki

e. Dapat duduk sendiri ditempat duduk

f. Melempar bola diatas tangan tanpa jatuh

3. Motorik halus

a. Dapat membangun menara 3 dari 4 bangunan

b. Melepaskan dan meraih dengan baik

c. Membuka halaman buku 2 atau 3 dalam satu waktu

d. Menggambar dengan membuat tiruan

4. Vokal atau suara

a. Mengatakan 10 kata atau lebih

b. Menyebutkan beberapa obyek seperti sepatu atau bola dan 2 atau 3 bagian tubuh

5. Sosialisasi atau kognitif

a. Meniru

b. Menggunakan sendok dengan baik

c. Menggunakan sarung tangan

d. Watak pemarah mungkin lebih jelas

e. Mulai sadar dengan barang miliknya

8. Dampak hospitalisasi

Pengalaman cemas pada perpisahan, protes secara fisik dan menangis, perasaan hilang kontrol menunjukkan temperamental, menunjukkan regresi, protes secara verbal, takut terhadap luka dan nyeri, dan dapat menggigit serta dapat mendepak saat berinteraksi.

Permasalahan yang ditemukan yaitu sebagai berikut :

a) Rasa takut

1) Memandang penyakit dan hospitalisasi

2) Takut terhadap lingkungan dan orang yang tidak dikenal

3) Pemahaman yang tidak sempurna tentang penyakit

4) Pemikiran yang sederhana : hidup adalah mesin yang menakutkan

5) Demonstrasi : menangis, merengek, mengangkat lengan, menghisap jempol, menyentuh tubuh yang sakit berulang-ulang.

b. Ansietas

1) Cemas tentang kejadian yang tidakdikenal

2) Protes (menangis dan mudah marah, (merengek)

3) Putus harapan : komunikasi buruk, kehilangan ketrampilan yang baru tidak berminat

4) Menyendiri terhadap lingkungan rumah sakit

5) Tidak berdaya

6) Merasa gagap karena kehilangan ketrampilan

7) Mimpi buruk dan takut kegelapan, orang asing, orang berseragam dan yang memberi pengobatan atau perawatan

8) Regresi dan Ansietas tergantung saat makan menghisap jempol

9) Protes dan Ansietas karena restrain

c. Gangguan citra diri

1) Sedih dengan perubahan citra diri

2) Takut terhadap prosedur invasive (nyeri)

3) Mungkin berpikir : bagian dalam tubuh akan keluar kalau selang dicabut

B. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

1. Pengkajian

Yang paling penting peran perawat selama pasien kejang adalah observasi kejangnya dan gambarkan kejadiannya. Setiap episode kejang mempunyai karakteristik yang berbeda misal adanya halusinasi (aura ), motor efek seperti pergerakan bola mata , kontraksi otot lateral harus didokumentasikan termasuk waktu kejang dimulai dan lamanya kejang.

Riwayat penyakit juga memegang peranan penting untuk mengidentifikasi faktor pencetus kejang untuk pengobservasian sehingga bisa meminimalkan kerusakan yang ditimbulkan oleh kejang.

1. Aktivitas / istirahat : keletihan, kelemahan umum, perubahan tonus / kekuatan otot. Gerakan involunter

2. Sirkulasi : peningkatan nadi, sianosis, tanda vital tidak normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan

3. Integritas ego : stressor eksternal / internal yang berhubungan dengan keadaan dan atau penanganan, peka rangsangan.

4. Eliminasi : inkontinensia episodik, peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus spinkter

5. Makanan / cairan : sensitivitas terhadap makanan, mual dan muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak / gigi

6. Neurosensor : aktivitas kejang berulang, riwayat truma kepala dan infeksi serebra

7. Riwayat jatuh / trauma

2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul

1. Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.

2. Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neoromuskular

3. Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh

4. Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi, penurunan kekuatan

5. Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi

3. INTERVENSI

Diagnosa 1

Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.

Tujuan

Cidera / trauma tidak terjadi

Kriteria hasil

Faktor penyebab diketahui, mempertahankan aturan pengobatan, meningkatkan keamanan lingkungan

Intervensi

Kaji dengan keluarga berbagai stimulus pencetus kejang. Observasi keadaan umum, sebelum, selama, dan sesudah kejang. Catat tipe dari aktivitas kejang dan beberapa kali terjadi. Lakukan penilaian neurology, tanda-tanda vital setelah kejang. Lindungi klien dari trauma atau kejang.

Berikan kenyamanan bagi klien. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi anti compulsan

Diagnosa 2

Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neuromuskular

Tujuan

Inefektifnya bersihan jalan napas tidak terjadi

Kriteria hasil

Jalan napas bersih dari sumbatan, suara napas vesikuler, sekresi mukosa tidak ada, RR dalam batas normal

Intervensi

Observasi tanda-tanda vital, atur posisi tidur klien fowler atau semi fowler. Lakukan penghisapan lendir, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi

Diagnosa 3

Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh

Tujuan

Aktivitas kejang tidak berulang

Kriteria hasil

Kejang dapat dikontrol, suhu tubuh kembali normal

Intervensi

Kaji factor pencetus kejang. Libatkan keluarga dalam pemberian tindakan pada klien. Observasi tanda-tanda vital. Lindungi anak dari trauma. Berikan kompres dingin pda daerah dahi dan ketiak.

Diagnosa 4

Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi, penurunan kekuatan

Tujuan

Kerusakan mobilisasi fisik teratasi

Kriteria hasil

Mobilisasi fisik klien aktif , kejang tidak ada, kebutuhan klien teratasi

Intervensi

Kaji tingkat mobilisasi klien. Kaji tingkat kerusakan mobilsasi klien. Bantu klien dalam pemenuhan kebutuhan. Latih klien dalam mobilisasi sesuai kemampuan klien. Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan klien.

Diagnosa 5

Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi

Tujuan

Pengetahuan keluarga meningkat

Kriteria hasil

Keluarga mengerti dengan proses penyakit kejang demam, keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien.

Intervensi

Kaji tingkat pendidikan keluarga klien. Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien. Jelaskan pada keluarga klien tentang penyakit kejang demam melalui penkes. Beri kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal yang belum dimengerti. Libatkan keluarga dalam setiap tindakan pada klien.

6. EVALUASI

1. Cidera / trauma tidak terjadi

2. Inefektifnya bersihan jalan napas tidak terjadi

3. Aktivitas kejang tidak berulang

4. Kerusakan mobilisasi fisik teratasi

5. Pengetahuan keluarga meningkat